Seiring berjalannya waktu, masyarakat dari luar daerah Gunung Kawi terus menunggu dengan penuh harap dan keyakinan akan jatuhnya daun dewa daru. Proses ini dianggap sebagai momen sakral, di mana banyak yang percaya bahwa daun yang jatuh memiliki energi positif yang dapat menguatkan ikatan spiritual dengan alam sekitarnya.
Setiap tahun, ketika musim berganti, ritual penantian dimulai. Masyarakat setempat berkumpul di sekitar Gunung Kawi, mempersembahkan doa-doa untuk kelimpahan rezeki dan keselamatan. Saat daun dewa daru mulai jatuh, kegembiraan dan kebersyukuran pun menyelimuti mereka.
Banyak yang mengambil daun tersebut dengan penuh rasa hormat, mempercayai bahwa memiliki satu daun dewa daru akan membawa keberuntungan sepanjang tahun.
Beberapa masyarakat bahkan menyimpan daun ini sebagai warisan turun temurun, meyakini bahwa keberkahan akan terus mengalir melalui generasi mereka.
Selama proses ini, Gunung Kawi menjadi tempat berkumpulnya spiritualitas dan kepercayaan kolektif. Ritual penantian jatuhnya daun dewa daru tidak hanya menjadi momen individu, tetapi juga mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat yang menjadikannya sebagai peristiwa yang dinanti-nantikan dengan harapan dan kegembiraan.
Setelah mendapatkan daun dewa daru dengan penuh harapan, masyarakat dari luar Gunung Kawi mengikuti tradisi khusus dalam penggunaannya. Daun ini tidak hanya dianggap sebagai simbol keberuntungan, tetapi juga sebagai objek spiritual yang memerlukan perlakuan khusus.
Umumnya, masyarakat yang menyimpan daun dewa daru dengan cermat, seringkali meletakkannya di tempat-tempat yang dianggap sakral, seperti altar rumah atau tempat ibadah. Beberapa orang memilih untuk mengeringkan daun tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari barang-barang pusaka keluarga.
Ada juga yang menggunakan daun dewa daru sebagai elemen penting dalam ritual keagamaan atau upacara adat.
